Kritik CSR BUMDes Berujung Meja Hijau, IWOI Soroti Kriminalisasi Narasumber dan Abaikan Prosedur Pers

Berita, Daerah2,691 views

KARAWANG || Patriotjabar.com – Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Karawang – Jawa Barat menegaskan, bahwa setiap bentuk narasi yang dimuat di media massa, termasuk kritikan pedas terhadap pemerintahan merupakan produk jurnalistik sah yang dilindungi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pernyataan ini disampaikan Ketua Bidang Kompetensi SDM DPD IWOI Karawang, Ade Kosasih SE, menyusul adanya sebagian pendapat publik yang menyatakan bahwa dugaan narasi fitnah melalui media massa bisa langsung diproses pidana.

Mang Adk (sapaan akrab) mengatakan, secara sederhana ada tiga bentuk produk jurnalistik yang sah, yaitu berita, opini dan feature. Sementara produk jurnalistik yang sah adalah produk jusnalistik yang dimuat di media massa yang memiliki badan hukum serta memenuhi unsur etika jurnalistik yang diantaranya wartawan berkaitan selalu melakukan cover both side.

Sehingga ditegaskannya, narasi kritikan sepedas apapun terhadap pemerintahan yang dimuat di media massa, maka tidak bisa langsung dipidanakan tanpa melalui proses laporan ke Dewan Pers terlebih dahulu.

“Artinya, dugaan fitnah atau ancaman melalui narasi di media massa tidak serta merta bisa langsung dipidanakan. Tetapi tetap harus melalui proses sengketa di Dewan Pers. Produk jurnalistiknya pidana atau bukan, maka nanti sidang di Dewan Pers yang memutuskan, baru-lah nanti pihak kepolisian bisa memprosesnya,” tutur Mang Adk, saat menyampaikan materi jurnalistik di Sekretariat DPD IWOI Karawang, Rabu (11/6/2025).

Menurut Mang Adk, UU No. 1 Tahun 2024 atas perubahan kedua UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pada Pasal 27 yang mengatur mengenai pencemaran nama baik, fitnah, dan penyebaran informasi menyesatkan secara online, maka tidak serta merta bisa langsung diterapkan pada persoalan produk jurnalistik yang sah.

Pasalnya, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan “lex specialis” dalam penyelesaian masalah pemberitaan pers. Artinya, UU Pers memiliki ketentuan khusus yang mengatur pers dan menjadi dasar hukum utama dalam penyelesaian masalah yang terkait dengan pemberitaan pers, mengesampingkan aturan hukum umum lainnya.

Terlebih disampaikannya, ada nota kesepahaman (MoU) antara Polri dengan Dewan Pers yang intinya menjelaskan, apabila Polri menerima laporan terkait pemberitaan, maka harus dikoordinasikan dengan Dewan Pers.

Kemudian, apabila koordinasi kedua pihak memutuskan laporan masyarakat itu masuk kategori perbuatan penyalahgunaan profesi wartawan diluar koridor UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), maka Polri menindaklanjuti secara proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.

“Artinya, jangankan untuk masalah dugaan fitnah atau pencemaran nama baik kritik terhadap pemerintahan melalui media massa, untuk kasus Obstruction of Justice yang melibatkan pers pun harus terlebih dahulu diselesaikan melalui sengketa di Dewan Pers,” terangnya.

IWOI Sinyalir Ada Interest Lain dalam Kasus Terdakwa YS di Karawang

Sementara dalam menyikapi kasus seorang warga Yusup Saputra, terdakwa kasus dugaan perbuatan tidak menyenangkan karena kritikannya terhadap pengelolaan CSR perusahaan oleh BUMDes Pinayungan Kecamatan Telukjambe Timur di media massa, Mang Adk mensinyalir adanya interest lain dalam proses pelaporan kasus tersebut.

Pasalnya, subjek yang dilaporkan oleh kuasa hukum si pelapor (Kades Pinayungan, red), bukannya seorang wartawan yang menulis beritanya. Melainkan YS yang diketahui merupakan warga dan mantan kepala desa juga.

Sehingga dari awal Mang Adk menilai ada ‘kejanggalan’ dalam proses laporan terdakwa YS ke Polres Karawang ini. Sehingga dinilai hal yang wajar jika produk hukum yang sudah masuk peradilan ini dinilai publik sebagai bentuk ‘kriminalisasi narasumber’ di media massa.

“Soal interet lainnya apa, kami dari IWOI masih melakukan kajian hal itu. Karena seharusnya jika mau dilaporkan, maka subjek pertama yang dilaporkannya adalah wartawan yang menulis. Karena narasumber adalah subjek laporan kedua. Tetapi tetap proses laporannya harus melalui sengketa Dewan Pers dulu. Karena berkaitan dengan objek pelaporannya adalah produk jurnalistik yang sah,” terangnya.

IWOI Sesalkan Wartawan Bisa Jadi Saksi Penyelidikan Polisi dan Saksi di Pengadilan

Dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Mang Adk menjelaskan tentang prinsip perlindungan kebebasan pers dan hak tolak. Yaitu dimana seorang wartawan berhak menolak ketika diminta untuk memberikan keterangan di penyidik kepolisian maupun menjadi saksi di pengadilan.

Terkecuali ada rekomendasi dari Dewan Pers, setelah adanya pernyataan sah Dewan Pers yang menyatakan bahwa sengketa kasuanya merupakan kasus pidana murni. Dan pengecualian lainnya, misal jika wartawan atau media tempatnya bekerja terlibat secara pribadi atau korporasi dalam kasus yang disidik. 

“Saya juga kaget ketika mendengar wartawan yang menulis beritanya sempat dimintai keterangan oleh penyidik polres dan menjadi saksi di pengadilan. Jelas kami dari IWOI menyesalkan sikap penyidik dan jaksa yang tidak mengedepankan prinsip kebebasan pers dan hak tolak ini,” katanya.

“Sementara wartawan tersebut mengaku sudah memberikan hak jawab. Tapi pengacara si pelapor enggan berkomentar dengan alasan tertentu. Tapi tiba-tiba narasumbernya di polisikan,” timpal Mang Adk.

IWOI Kawal Yurisprudensi Kasus Terdakwa YS

Mang Adk menambahkan, bahwa kasus terdakwa narasumber YS ini akan menjadi yurisprudensi produk hukum di Jawa Barat. Yaitu dimana kasus pasal UU ITE yang bisa dibenturkan dengan ‘lex specialis’ UU Pers ini akan menjadi kajian hukum menarik soal kebebasan pers dan kebebasan berpendapat masyarakat dalam berdemokrasi dan bernegara.

“Tetapi kami IWOI berharap terdakwa YS bisa divonis bebas. Dan si pelapor lebih baik melaporkan dulu kasusnya melalui sengketa di Dewan Pers. Dan kami juga berharap penyidik dan jaksa bisa menghargai MoU antara Polri dengan Dewan Pera,” tutupnya.***

(Red)

Komentar