Mantan Koruptor Jadi Caleg, Kok Bisa?

Berita, Daerah601 views

Karawang || Patriotjabar.com – Kontroversi seputar bekas narapidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2024 telah menjadi sorotan publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 56 eks koruptor memasuki dunia politik dengan harapan menjadi bagian dari kekuasaan legislatif.

Meskipun terdengar tidak masuk akal, ternyata mantan narapidana korupsi memiliki hak untuk mendaftar sebagai caleg, sebuah kenyataan yang mengundang berbagai pertanyaan dan diskusi di kalangan masyarakat.

Pasal 45A ayat (2) menjadi dasar hukum bagi eks narapidana korupsi yang ingin ikut serta dalam pemilihan legislatif atau Pileg. Ayat (1) dari pasal tersebut sebelumnya telah menjelaskan bahwa mantan narapidana kasus korupsi tidak memenuhi syarat sebagai caleg berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Namun, pada ayat (2), secara tersirat diizinkan bahwa mereka dapat mendaftar dengan syarat-syarat tertentu.

Syaratnya adalah…
Syarat utama yang harus dipenuhi oleh eks narapidana korupsi adalah melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan atau lapas. Surat tersebut harus menjelaskan bahwa napi yang bersangkutan telah menyelesaikan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan, dan juga disertai dengan salinan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Syarat lainnya adalah melampirkan surat dari pemimpin redaksi media yang berisi pernyataan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Pernyataan tersebut harus didukung dengan bukti yang tayang di media massa.

Meskipun regulasi memberikan lampu hijau bagi eks narapidana korupsi, terdapat batasan tertentu yang tetap dilarang. PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 6 Desember 2019, memperkuat regulasi tersebut dengan melarang mantan narapidana kasus narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Dalam Pasal 3A ayat (3) dan (4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan jelas menyatakan larangan terhadap mantan narapidana kasus tersebut.

Menariknya, KPU tidak secara tegas melarang eks narapidana koruptor untuk maju dalam Pilkada. Mereka hanya mengajurkan agar tidak diutamakan untuk dicalonkan, memberikan ruang bagi eks narapidana korupsi untuk terlibat dalam proses politik lokal. Sementara regulasi ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan moralitas dalam politik, tampaknya pemerintah memberikan peluang bagi mereka yang sudah menjalani hukuman untuk kembali berkontribusi dalam pembangunan demokrasi.

Regulasi yang mengizinkan mantan narapidana kasus korupsi untuk ikut Pemilu juga mencakup mantan narapidana kasus lain. Hal ini diatur dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Disana dijelaskan bahwa seorang eks narapidana boleh mendaftar sebagai caleg, dengan syarat bahwa mereka tidak pernah dipidana penjara selama 5 tahun atau lebih.

Kontroversi seputar partisipasi bekas narapidana korupsi dalam Pemilu menciptakan perdebatan etis dan moral di tengah masyarakat. Pendapat-pendapat divergen muncul, di antaranya yang berpendapat bahwa ini adalah langkah rehabilitasi dan pemberian kesempatan kedua bagi mereka yang telah menjalani masa tahanan. Sementara itu, ada juga keprihatinan terkait integritas politik dan moralitas di negara ini, mengingat dampak buruk korupsi terhadap perekonomian dan keadilan sosial.

Di sisi lain, pelibatan bekas narapidana korupsi dalam proses demokrasi juga dapat dilihat sebagai bentuk lingkup sosial dan kesempatan untuk mengubah perilaku yang salah menjadi lebih baik. Pengalaman hidup yang sulit di balik jeruji besi dapat menjadi cambuk untuk mereka memperbaiki diri dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya melihat dari sudut pandang negatif, tetapi juga mempertimbangkan potensi positif yang mungkin muncul dari partisipasi mereka dalam politik.

Namun, perlu diakui bahwa kebijakan ini juga memberikan risiko terhadap integritas politik dan citra pemerintah. Bagaimana masyarakat merespons dan apakah mereka dapat menerima bekas narapidana korupsi sebagai wakil mereka dalam lembaga legislatif menjadi pertanyaan kritis. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu melakukan upaya ekstra untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang alasan di balik kebijakan ini dan upaya rehabilitasi yang telah dilakukan oleh para mantan narapidana.

Mendesaknya evaluasi lebih lanjut terhadap dampak partisipasi bekas narapidana korupsi dalam politik juga menjadi sebuah kebutuhan. Diperlukan kajian mendalam untuk menilai sejauh mana regulasi yang ada efektif dalam merespons kebutuhan rehabilitasi dan apakah dampaknya positif bagi masyarakat dan tatanan politik secara keseluruhan. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi lembaga pemantauan, seperti KPU dan lembaga anti-korupsi, untuk meningkatkan peran mereka dalam mengawasi integritas dan kredibilitas sistem politik.

Diperlukan transparansi penuh dalam menjelaskan alasan di balik kebijakan ini, serta upaya konkret yang dilakukan untuk memastikan bahwa bekas narapidana yang terlibat dalam politik benar-benar telah menjalani proses rehabilitasi yang memadai. Masyarakat perlu diberikan jaminan bahwa proses politik tidak hanya memihak kepada elite politik, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat umum.
Penting untuk diingat bahwa partisipasi bekas narapidana korupsi dalam Pemilu bukanlah masalah yang dapat dihadapi dengan pendekatan hitam-putih.

Dibutuhkan pemikiran yang matang dan pendekatan yang seimbang untuk memahami konsekuensi positif dan negatif dari kebijakan ini. Hanya dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini secara cermat, masyarakat dan pemangku kebijakan dapat mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan terkait dengan peran bekas narapidana korupsi dalam proses demokrasi di Indonesia.

Meskipun memberikan kesempatan kepada bekas narapidana korupsi untuk ikut serta dalam Pemilu bisa dianggap sebagai tindakan inklusi, namun dampaknya perlu dievaluasi dengan seksama. Apakah ini benar-benar memberikan ruang untuk rehabilitasi, ataukah malah membuka peluang bagi potensi risiko korupsi yang lebih besar?

(Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Komentar